Keadaan perkamusan di
Indonesia berbeda dengan tradisi perkamusan di negara-negara yang sudah maju. Pembinaan
perkamusan merupakan proses yang panjang, setiap tahap dalam proses itu
merupakan akumulasi dari penelitian dan analisis bahasa serta kegunaan praktis
kamus hasil proses sebelumnya. Setiap penerbitan kamus diarahkan kepada
kecermatan pencatatan bahasa dan kesempurnaan yang setinggi-tingginya, walaupun
setiap terbitan tidak dapat dilepaskan dari ‘ideologi bahasa’ editor
masing-masing, dan kadang-kadang juga dari usaha editor untuk menyesuaikan
terbitannya denga selera publik.
Fungsi
kamus ialah memelihara kemurnian bahasa, menurut tokok perkamusan yaitu Samuel
Johnson.
Ideologi
bahasa yang normatif, sebenarnya bertentangan dengan pendirian yang melandasi
kamus-kamus modern, seperti A New English
Dictionary on Historycal Principles (1934) – yang lebih dikenal dengan Kamus Oxford.
Tradisi perkamusan negara-negara maju memang dimulai dengan kamus standar
dan kamus monolingual; dan kamus sumber tersebut, lalu diterbitkanlah
kamus-kamus yang lebih terbatas seperti Shorter Oxford dan Webster’s Third New
International Dictionary (1961). Namun, keadaan perkamusan di Indonesia tidak
seperti itu.
Sejarah
leksikografi di Indonesia dimulai dari daftar kata-kata atau glosarium
ke kamus-kamus bilingual, lalu
meningkat ke kamus-kamus monolingual. Berdasarkan catatan, karya leksikografi
Indonesia tertua dalam sejarah studi bahasa di Indonesia ialah daftar kata Cina-Melayau yang berasal dari permulaan
abad ke-15 yang berisi 500 kata kepala. Daftar kata Melayu-Itali yang disusun Pigafetta
(1522) termasuk pula karya leksikografis awal.
Minat
pada perkausan Indonesia pada zaman kolonial terbatas pada orang-orang asing
saja. Jadi kamus yang disusun pun pada umumnya kamus bahasa asing-bahasa
Indonesia (Melayu, Jawa, Bali, Sunda, Makasar, dan lain-lain). Satu-satunya
kekecualian yang perlu dicatat ialah kamus Melayu-Jawa yang berjudul Baoesastra Melayu-Jawa (1961) karangan
R. Sastrasoeganda, merupakan kamus monolingual pertama yang disusun oleh putra
Indonesia ialah kitab pengetahuan bahasa yaitu Kamus Loghat Melayu Johor-Pahang-Riau-Lingga-Penggal yang pertama
oleh Raja Ali Haji dari Riau, Tahun 1354 Hijrian (=1928 Masehi) tercatat pada
buku yang dicetak oleh Al Ahmadiah Press Singapura.
Kamus-kamus
seperti Baoesastra Djawa (1930)
karangan Poerwadarminta, Hardjasodarma, dan Ppedjasoedira dapat dianggap
sebagai pelopor kamus pada masanya, sedangkan pelopor kamus dalam bahasa sunda
adalah R. Satjadibrata, dengan kamusnya yang berjudul Kamoes Basa Sunda.
Ada
beberapa kamus monolingual bahasa Indonesia yang terbit; yang paling tua di
antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia (1957)
karangan W.J.S Poerwadarminta. Kamus itu disusun atas dasar bahan-bahan
unsur-unsur preskriptivisme dan subyekitisme. Istilah-istilah teknis yang
terbatas penggunaanya tidak dimuat di dalamnya. Oleh karena itu kamus tersebut
dinamakan kamus umum. Karena mutunya yang tinggi dipandang dari sudut leksikografi,
tampaknya semua pekerjaan perkamusan bahasa Indonesia pada masa-masa yang akan
datang harus mempergunakan kamus itu sebagai landasan.