Sabtu, 12 Desember 2015

Dialektologi

A.      Dialek
Dialek atau dialect berasal dari bahasa Yunani dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan. Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berbeda dari satu tempat wilayah atau area tertentu (menurut Abdul Chaer).

Dialek dibedakan berdasarkan kosa kata, tata bahasa, dan pengucapan. Jika pembedaannya hanya berdasarkan pengucapan, maka disebut aksen. Dapat disimpulkan bahwa dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang berbeda dengan kelompok penutur lain berdasarkan atas letak geografi, faktor sosial, dan lain-lain.

Jenis- jenis dialek meliputi dialek regional dialek yg cirinya dibatasi oleh tempat, misalnya dialek Melayu Manado, dialek Jawa Banyumas; dialek sosial dialek yg dipakai oleh kelompok sosial tertentu, misalnya dialek wanita dalam bahasa Jepang; dialek temporal dialek dr bahasa yg berbeda-beda dr waktu ke waktu, misalnya apa yg lazim disebut bahasa Melayu kuno, Melayu Klasik, dan Melayu Modern, masing-masing adalah dialek temporal dari bahasa Melayu; dialek tinggi variasi sosial atau regional suatu bahasa yg diterima sebagai standar bahasa itu dan dianggap lebih tinggi daripada dialek-dialek lain.

Dialek merupakan sub bahasa. Sebagai sub bahasa, dialek memiliki ciri-ciri yang dimiliki bahasa sebagai tolak ukur dialek yaitu untuk menentukan apakah evidensi yang dituturkan dalam masyarakat  di daerah tertentu  adalah bahasa atau dialek. Contoh Dialek:

1.       Dialek jawa Surabaya dan Dialek jawa Malang-an.

Dialek jawa Surabaya:
jeketek (sesuatu yang terjadi diluar pikiran/ oalah...)
Matek (mati, meninggal)   
                 
Dialek jawa Malang:
Nggletek(sesuatu yang terjadi diluar pikiran/ oalah...
Mati (mati, meninggal)

2.       Dialek bahasa Inggris Amerika dan bahasa Inggris British.

British   <==>  American
Football <==>  Soccer
Biscuit   <==>  Cookie
Shop      <==>  Store

3.       Dialek bahasa Jepang  Kantou dan Dialek bahasa Jepang Kansai.

Bahasa Jepang Kantou: acchi (panas), sammi (dingin).
Bahasa Jepang Kansai: atsui (panas), samui (dingin).

B.      Pembeda dan Penentu Dialek

Untuk memahami pembeda dan penentu dialek lebih mudah maka terlebih dahulu mengetahui eksistensi bahasa itu semdiri. Pei (1966: 141) memberikan batasan bahasa antara lain sebagai suatu sistem komunikasi yang menggunakan bunyi, yang memanfaatkan alat ucap dan pendengaran di antara anggota masyarakat tertentu dengan menggunakan simbol vokal secara arbitrer dan arti secara konvensional. Kridalaksana (1993: 21) membatasi bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Kedua batasan bahasa di atas pada dasarnya sejalan, batasan bahasa sama-sama ditinjau dari sudut pandang sebagai sebuah sistem yang memiliki fungsi praktis sehari-hari dalam kelompok pemakainya, yakni alat komunikasi. Batasan ini dapat digunakan pula untuk dialek atau variasi bahasa jika semata-mata dialek atau variasi bahasa dilihat secara otonom sebagai sebuah sistem yang memiliki fungsi dalam kelompok pemakainya karena pada hakikatnya subtansi bahasa dan variasinya sama saja.

Akan tetapi, jika dilihat dari sisi eksternal lain, yakni sisi pemakainya, bahasa dapat didentifikasi sebagai variasi sesuai dengan keberadaan kelompok pemakai tersebut. Dalam hal ini variasi adalah dialek, baik pemakainya yang berada di tempat tertentu dan dalam kelompok sosial tertentu maupun pada masa tertentu.

Dalam bahasa Indo-Eropa, Meillet mencatat bahwa dialek tidak dapat ditentukan secara pasti kecuali ditetapkan berdasarkan sistem fonetis-fonologis, morfologis, sintaksis dan leksikal (Zulaeha, 2010: 31). Perlu diketahui Meillet (1967: 69), menyatakan bahwa dialek memiliki ciri utama perbedaan dalam kesatuan, kesatuan dalam perbedaan. Masyarakat penggunanya tidak merasakan mempunyai bahasa yang berbeda meskipun terdapat perbedaan-perbedaan.

Dialek adalah bagian dari logat,  yakni dialek adalah gaya berbahasa, cara pengucapan, dan maknanya sedikit berbeda dengan yang lainnya Kedua, dialek adalah seperangkat ujaran setempat yang berbeda-beda yang memiliki ciri umum dan lebih mirip sesamamnya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama. Ketiga, dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran setempat dari sebuah bahasa. Berdasarkan pandangan ini, secara umum dialek merupakan sistem yang memiliki kekhasan sebagai bagian dari sistem bahasa.

1.       Perbedaan Fonetik

Fonetik membahas bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucapan manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilakan umumnya penutur dialek tidak menyadari adanya perbedaan tersebut tetapi tidak mengubah maknanya.

Contoh: pada konsonan nasal m menjadi η
- sumsum [sumsUm]  ‘isi tulang’     bahasa Jawa Standar
-  sungsum  [suηsUm] ‘isi tulang’     bahasa Jawa Lamongan

Contoh : pada pelafalan bunyi vokal
- putih [pUtIh]   ‘putih’     bahasa Jawa Standar
- puteh [pUtɛh] ‘putih’      bahasa Jawa Lamongan

perbedaan fonetik vokal antara bahasa Jawa Standar dengan bahasa Jawa Brebes, seperti berikut.
-manuk [manU?] ‘burung’ bahasa Jawa Standar
-bibit    [bibIt]      ‘benih’   bahasa Jawa Brebes

2.       Perbedaan Semantik

Terciptanya kata-kata baru berdasarkan perubahan fonologis atau geseran (sinonimi dan hononimi) bentuk dan bentuk kata yang berbeda.

Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama bentuk geseran bertalian dengan corak yaitu pemberian pelambang/nama (signifiant)  yang berbeda untuk linambang (signifie) yang sama di beberapa tempat yang berbeda, atau suatu istilah yang mengandung pengertian telaah, keadaan, nama lain. Contoh:

mati, meninggal, berpulang, wafat

Sinonimi tidak mutlak memiliki arti yang sama tetapi mendekati sama atau mirip. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya sinonimi adalah penyerapan kata-kata asing, penyerapan kata-kata daerah, makna emotif dan evaluatif. Kata bersinonimi tidak dapat dipertukarkan tempatnya karena dipengaruhi oleh faktor waktu, faktor tempat atau daerah, faktor sosial, faktor kegiatan dan faktor nuansa makna.

Homonimi adalah kata-kata yang sama bunyi dan bentuknya tetapi mengandung makna dan pengertian yang berbeda. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya homonimi adalah kata-kata yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan, kata-kata yang berhomonimi itu terjadi sebagaimana hasil proses morfologis. Homonimi yang homograf dan homofon adalah sama bunyi sama bentuknya. Contoh:

bisa = sanggup, dapat
bisa = racun ular

Dalam dialek pada daerah-daerah di Indonesia yaitu dari Solo, Lamongan, Kudus, dll, dapat ditemukan adanya sinomini dan hanonimi seperti contoh dibawah ini:

Sinomini ( sama makna)
-[klaηar] ‘ pingsan’                       bahasa Jawa Standar
-[samapUt] ‘ pingsan’                   bahasa Jawa Kudus

Hononimi
-[mari] ‘sembuh dari sakit’           bahasa Jawa Solo
-[mari] ‘sudah, setelah’                 bahasa Jawa Lamongan

3.       Perbedaan Onomasiologis

Yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan dibeberapa tempat yang berbeda (Guiraud, 1970: 16).

Contohnya:

Pada bahasa Jawa standar biasanya menyebut acara tertentu dengan [kajatan] sedangkan di tempat lain seperti di daerah Lamongan disebut [kondaŋan]. menghadiri kenduri dalam bahasa Sunda ditemukan jenis penyebutan [ondaŋan] dan [kondaŋan]  didasarkan pada kehadiran di situ karena diundang, sedangkan [nyambuŋan] didasarkan pada tafsiran kehadiran di situ disebabkan keinginan menyumbang barang kepada yang punya kenduri.

4.          Perbedaan Semiologis

Merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda (Guiraud, 1970: 17-18).

Contohnya:

- kata aceh [acɛh] mengandung makna nama suku bangsa, nama daerah, dan nama kebudayaan,
- kata aceh [acɛh]merupakan  nama sejenis rambutan.
- kata rondo dalam bahasa Jawa.

Kata rondo [rϽndϽ] mengandung makna status wanita yang sudah tidak bersuami atau memiliki pasangan.
Kata rondo [rϽndϽ] Selain itu merupakan penyebutan nama sebuah makanan yang terbuat dari tapai singkong.

 - kata ngukur dalam bahasa Jawa.
Kata ngukur [ηukur] mengandung makna menghitung jarak antara kota A dan B.
Kata ngukur [ηukur] menggaruk kulit atau bagian kepala yang terasa gatal.

5.       Perbedaan Morfologis

Proses morfologis merupakan suatu proses untuk menghasilkan kata turunan, berupa kata berimbuhan, kata ulang, atau kata majemuk. Morfem sebagai bahan dasar dalam proses morfologis ada yang dapat bersendiri dalam tuturan biasa dan memiliki sifat bebas secara gramatik ada juga yang harus melalui proses morfologis terlebih dahulu. 

Proses morfologis (Samsuri, 190-193) meliputi:
(1) afiksasi
(2) reduplikasi
(3) perubahan intern
(4)suplisi
(5) modifikasi kosong

Proses morfologis yang dapat terjadi dengan bahan dasar morfem dasar terikat yaitu afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Secara umum proses yang terjadi dengan bahan dasar morfem selain morfem dasar terikat hampir sama dengan menggunakan bahan dasar morfem dasar terikat.

Proses afiksasi ini pun dapat meliputi prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, konfiksasi, dan imbuhan gabung. Pada dialek kali ini tolak ukur dalam morfologis antara bahasa dengan dialek juga dapat dibedakan melalui perbedaan morfologis seperti yang dijelaskan Guiraud 1970 yang dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang bersangkutan oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda oleh kegunaannya yang berkerabat oleh wujud fonetisnya,oleh daya rasanya dan oleh sejumlah faktor lainnya.

Contohnya:
-pada jentik dengan jentikan “kelingking” terdapat penambahan sufiks -an pada nomina jentik.
-isuk  dengan  isukan “pagi” terdapat penambahan sufiks -an pada nomina isuk.

C.      Perangkat Analisis Dialek

Perangkat analisis tersebut digunakan untuk membedakan berian atau bentuk bahasa yang berbeda antara dialek satu dengan lainya yang diteliti.

1.          Isoglos, Heteroglos atau Watas Kata

Isoglos adalah garis imajener yang diterakan di sebuah peta bahasa untuk menyatukan titik-titik pengamatan yang menggunakan gejala kebahasaan yang serupa, berian yang sama atau berasal dari etimonyang sama didalam pemetaan. Isoglos digunakan untuk menganalisis distribusi gejala kebahasaan Masica (1976 dalam Lauder 2001:7).

Heteroglos atau watas Kata digunakan untuk memisahkan munculnya setiap gejala bahasa berdasarkan ujud dan sistem yang berbeda dalam peta bahasa.

2.          Dialektometri

Untuk dapat menentukan apakah sejumlah anasir termasuk bahasa atau dialek ataukah subdialek perlu diperhitungkan atas aspek kemunculan kebahasaan. Seguy melontarkan gagasan dialektometri. Cara itu masih dianggap mampu melakukan pemilahan bahasa secara objektif.
Rumus yang diajukan Seguy (1971 dalam Lauder 2001:8), yaitu :
(s x 100) = d%
n
s = jumlah beda dengan titik pengamatan lain
n = jumlah peta yang diperbandingkan
d = jarak kosakata dalam %

3.          Tolak Ukur Saling Memahami

Pada dua bahasa atau dialek yang bertetangga tidak dapat dihindari proses pinjam meminjam unsur kosa kata, strktur dan cara pellafalan (Guiraud 1978 dalam lauder 2001:26). Dua dialek yang bertetangga yang masing-masing berbeda karena pengaruh dari bahasa atau dialek tetangganya yang lain, namun pemakaiannya masih dapat memahami dalam berkomunikasi, maka kedua varian itu adalah dialek yang berbeda, bukan bahasa.

Apabila sudah menjadi dua bahasa yang berbeda, bukan bahasa.  Apabila sudah menjadi dua bahasa yang berbeda, maka pemakainya tidak dapat saling memahami. Apabila sudah menjadi bahasa yang berbeda, maka pemakaianya tidak dapat saling memahami.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar