A.
Dialek
Dialek
atau dialect berasal dari bahasa Yunani dialektos.
Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan bahasa di Yunani
yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan.
Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif,
yang berbeda dari satu tempat wilayah atau area tertentu (menurut Abdul Chaer).
Dialek dibedakan berdasarkan kosa
kata, tata bahasa, dan pengucapan. Jika pembedaannya hanya berdasarkan pengucapan,
maka disebut aksen. Dapat disimpulkan bahwa dialek adalah variasi bahasa dari
sekelompok penutur yang berbeda dengan kelompok penutur lain berdasarkan atas
letak geografi, faktor sosial, dan lain-lain.
Jenis- jenis dialek meliputi
dialek regional dialek yg cirinya dibatasi oleh tempat, misalnya dialek
Melayu Manado, dialek Jawa Banyumas; dialek sosial dialek yg dipakai oleh
kelompok sosial tertentu, misalnya dialek wanita dalam bahasa Jepang; dialek
temporal dialek dr bahasa yg berbeda-beda dr waktu ke waktu, misalnya apa
yg lazim disebut bahasa Melayu kuno, Melayu Klasik, dan Melayu Modern,
masing-masing adalah dialek temporal dari bahasa Melayu;
dialek tinggi variasi sosial atau regional suatu bahasa yg diterima
sebagai standar bahasa itu dan dianggap lebih tinggi daripada dialek-dialek
lain.
Dialek merupakan sub bahasa.
Sebagai sub bahasa, dialek memiliki ciri-ciri yang dimiliki bahasa sebagai
tolak ukur dialek yaitu untuk menentukan apakah evidensi yang dituturkan dalam
masyarakat di daerah tertentu adalah bahasa atau dialek. Contoh
Dialek:
1.
Dialek
jawa Surabaya dan Dialek jawa Malang-an.
Dialek jawa Surabaya:
jeketek (sesuatu yang terjadi
diluar pikiran/ oalah...)
Matek (mati,
meninggal)
Dialek jawa Malang:
Nggletek(sesuatu yang terjadi
diluar pikiran/ oalah...
Mati (mati, meninggal)
2.
Dialek
bahasa Inggris Amerika dan bahasa Inggris British.
British <==>
American
Football <==> Soccer
Biscuit <==>
Cookie
Shop
<==> Store
3.
Dialek
bahasa Jepang Kantou dan Dialek bahasa Jepang Kansai.
Bahasa Jepang Kantou: acchi
(panas), sammi (dingin).
Bahasa Jepang Kansai: atsui
(panas), samui (dingin).
B.
Pembeda
dan Penentu Dialek
Untuk memahami pembeda dan
penentu dialek lebih mudah maka terlebih dahulu mengetahui eksistensi bahasa
itu semdiri. Pei (1966: 141) memberikan batasan bahasa antara lain sebagai
suatu sistem komunikasi yang menggunakan bunyi, yang memanfaatkan alat ucap dan
pendengaran di antara anggota masyarakat tertentu dengan menggunakan simbol
vokal secara arbitrer dan arti secara konvensional. Kridalaksana (1993: 21)
membatasi bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri.
Kedua batasan bahasa di atas pada
dasarnya sejalan, batasan bahasa sama-sama ditinjau dari sudut pandang sebagai
sebuah sistem yang memiliki fungsi praktis sehari-hari dalam kelompok pemakainya,
yakni alat komunikasi. Batasan ini dapat digunakan pula untuk dialek atau
variasi bahasa jika semata-mata dialek atau variasi bahasa dilihat secara
otonom sebagai sebuah sistem yang memiliki fungsi dalam kelompok pemakainya
karena pada hakikatnya subtansi bahasa dan variasinya sama saja.
Akan tetapi, jika dilihat dari
sisi eksternal lain, yakni sisi pemakainya, bahasa dapat didentifikasi sebagai
variasi sesuai dengan keberadaan kelompok pemakai tersebut. Dalam hal ini
variasi adalah dialek, baik pemakainya yang berada di tempat tertentu dan dalam
kelompok sosial tertentu maupun pada masa tertentu.
Dalam bahasa Indo-Eropa, Meillet
mencatat bahwa dialek tidak dapat ditentukan secara pasti kecuali ditetapkan
berdasarkan sistem fonetis-fonologis, morfologis, sintaksis dan leksikal
(Zulaeha, 2010: 31). Perlu diketahui Meillet (1967: 69), menyatakan bahwa
dialek memiliki ciri utama perbedaan dalam kesatuan, kesatuan dalam perbedaan.
Masyarakat penggunanya tidak merasakan mempunyai bahasa yang berbeda meskipun
terdapat perbedaan-perbedaan.
Dialek adalah bagian dari
logat, yakni dialek adalah gaya berbahasa, cara pengucapan, dan maknanya
sedikit berbeda dengan yang lainnya Kedua, dialek adalah seperangkat ujaran
setempat yang berbeda-beda yang memiliki ciri umum dan lebih mirip sesamamnya
dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama. Ketiga, dialek
tidak harus mengambil semua bentuk ujaran setempat dari sebuah bahasa.
Berdasarkan pandangan ini, secara umum dialek merupakan sistem yang memiliki
kekhasan sebagai bagian dari sistem bahasa.
1.
Perbedaan
Fonetik
Fonetik membahas bunyi-bunyi
bahasa yang dihasilkan oleh alat ucapan manusia, serta bagaimana bunyi itu
dihasilakan umumnya penutur dialek tidak menyadari adanya perbedaan tersebut
tetapi tidak mengubah maknanya.
Contoh: pada konsonan
nasal m menjadi η
- sumsum [sumsUm] ‘isi
tulang’ bahasa Jawa Standar
- sungsum [suηsUm]
‘isi tulang’ bahasa Jawa Lamongan
Contoh : pada pelafalan bunyi
vokal
- putih [pUtIh]
‘putih’ bahasa Jawa Standar
- puteh [pUtɛh]
‘putih’ bahasa Jawa Lamongan
perbedaan fonetik vokal antara
bahasa Jawa Standar dengan bahasa Jawa Brebes, seperti berikut.
-manuk [manU?] ‘burung’ bahasa
Jawa Standar
-bibit
[bibIt] ‘benih’
bahasa Jawa Brebes
2.
Perbedaan
Semantik
Terciptanya kata-kata baru
berdasarkan perubahan fonologis atau geseran (sinonimi dan hononimi) bentuk dan
bentuk kata yang berbeda.
Sinonimi adalah nama lain untuk
benda atau hal yang sama bentuk geseran bertalian dengan corak yaitu pemberian
pelambang/nama (signifiant) yang berbeda untuk linambang (signifie) yang
sama di beberapa tempat yang berbeda, atau suatu istilah yang mengandung
pengertian telaah, keadaan, nama lain. Contoh:
mati, meninggal, berpulang, wafat
Sinonimi tidak mutlak memiliki
arti yang sama tetapi mendekati sama atau mirip. Hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya sinonimi adalah penyerapan kata-kata asing, penyerapan kata-kata
daerah, makna emotif dan evaluatif. Kata bersinonimi tidak dapat dipertukarkan
tempatnya karena dipengaruhi oleh faktor waktu, faktor tempat atau daerah,
faktor sosial, faktor kegiatan dan faktor nuansa makna.
Homonimi adalah kata-kata yang
sama bunyi dan bentuknya tetapi mengandung makna dan pengertian yang berbeda.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya homonimi adalah kata-kata yang
berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan, kata-kata yang
berhomonimi itu terjadi sebagaimana hasil proses morfologis. Homonimi yang homograf
dan homofon adalah sama bunyi sama bentuknya. Contoh:
bisa = sanggup, dapat
bisa = racun ular
Dalam dialek pada daerah-daerah
di Indonesia yaitu dari Solo, Lamongan, Kudus, dll, dapat ditemukan adanya
sinomini dan hanonimi seperti contoh dibawah ini:
Sinomini ( sama makna)
-[klaηar] ‘
pingsan’
bahasa Jawa Standar
-[samapUt] ‘ pingsan’
bahasa Jawa Kudus
Hononimi
-[mari] ‘sembuh dari
sakit’ bahasa Jawa Solo
-[mari] ‘sudah,
setelah’
bahasa Jawa Lamongan
3.
Perbedaan
Onomasiologis
Yang menunjukkan nama yang
berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan dibeberapa tempat yang berbeda
(Guiraud, 1970: 16).
Contohnya:
Pada bahasa Jawa standar biasanya
menyebut acara tertentu dengan [kajatan] sedangkan di tempat lain seperti di
daerah Lamongan disebut [kondaŋan]. menghadiri kenduri dalam bahasa Sunda
ditemukan jenis penyebutan [ondaŋan] dan [kondaŋan] didasarkan pada
kehadiran di situ karena diundang, sedangkan [nyambuŋan] didasarkan pada
tafsiran kehadiran di situ disebabkan keinginan menyumbang barang kepada yang
punya kenduri.
4.
Perbedaan Semiologis
Merupakan kebalikan dari
perbedaan onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep
yang berbeda (Guiraud, 1970: 17-18).
Contohnya:
- kata aceh [acɛh] mengandung
makna nama suku bangsa, nama daerah, dan nama kebudayaan,
- kata aceh [acɛh]merupakan nama
sejenis rambutan.
- kata rondo dalam
bahasa Jawa.
Kata rondo [rϽndϽ]
mengandung makna status wanita yang sudah tidak bersuami atau memiliki
pasangan.
Kata rondo [rϽndϽ]
Selain itu merupakan penyebutan nama sebuah makanan yang terbuat dari tapai
singkong.
-
kata ngukur dalam bahasa Jawa.
Kata ngukur [ηukur]
mengandung makna menghitung jarak antara kota A dan B.
Kata ngukur [ηukur]
menggaruk kulit atau bagian kepala yang terasa gatal.
5.
Perbedaan
Morfologis
Proses morfologis merupakan suatu
proses untuk menghasilkan kata turunan, berupa kata berimbuhan, kata ulang,
atau kata majemuk. Morfem sebagai bahan dasar dalam proses morfologis ada yang
dapat bersendiri dalam tuturan biasa dan memiliki sifat bebas secara gramatik
ada juga yang harus melalui proses morfologis terlebih dahulu.
Proses morfologis (Samsuri, 190-193) meliputi:
(1) afiksasi
(2) reduplikasi
(3) perubahan intern
(4)suplisi
(5) modifikasi kosong
Proses morfologis yang dapat
terjadi dengan bahan dasar morfem dasar terikat yaitu afiksasi, reduplikasi,
dan komposisi. Secara umum proses yang terjadi dengan bahan dasar morfem selain
morfem dasar terikat hampir sama dengan menggunakan bahan dasar morfem dasar
terikat.
Proses afiksasi ini pun dapat
meliputi prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, konfiksasi, dan imbuhan gabung. Pada
dialek kali ini tolak ukur dalam morfologis antara bahasa dengan dialek juga
dapat dibedakan melalui perbedaan morfologis seperti yang dijelaskan Guiraud
1970 yang dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang bersangkutan oleh
frekuensi morfem-morfem yang berbeda oleh kegunaannya yang berkerabat oleh
wujud fonetisnya,oleh daya rasanya dan oleh sejumlah faktor lainnya.
Contohnya:
-pada jentik dengan jentikan
“kelingking” terdapat penambahan sufiks -an pada nomina jentik.
-isuk dengan isukan
“pagi” terdapat penambahan sufiks -an pada nomina isuk.
C.
Perangkat
Analisis Dialek
Perangkat analisis tersebut
digunakan untuk membedakan berian atau bentuk bahasa yang berbeda antara dialek
satu dengan lainya yang diteliti.
1.
Isoglos, Heteroglos atau Watas Kata
Isoglos adalah garis imajener yang
diterakan di sebuah peta bahasa untuk menyatukan titik-titik pengamatan yang
menggunakan gejala kebahasaan yang serupa, berian yang sama atau berasal dari
etimonyang sama didalam pemetaan. Isoglos digunakan untuk menganalisis
distribusi gejala kebahasaan Masica (1976 dalam Lauder 2001:7).
Heteroglos atau watas Kata
digunakan untuk memisahkan munculnya setiap gejala bahasa berdasarkan ujud dan
sistem yang berbeda dalam peta bahasa.
2.
Dialektometri
Untuk dapat menentukan apakah sejumlah anasir termasuk bahasa atau dialek
ataukah subdialek perlu diperhitungkan atas aspek kemunculan kebahasaan. Seguy
melontarkan gagasan dialektometri. Cara itu masih dianggap mampu melakukan
pemilahan bahasa secara objektif.
Rumus yang diajukan Seguy (1971 dalam
Lauder 2001:8), yaitu :
(s x 100) = d%
n
s = jumlah beda dengan titik
pengamatan lain
n = jumlah peta yang
diperbandingkan
d = jarak kosakata dalam %
3.
Tolak Ukur Saling Memahami
Pada dua bahasa atau dialek yang
bertetangga tidak dapat dihindari proses pinjam meminjam unsur kosa kata,
strktur dan cara pellafalan (Guiraud 1978 dalam lauder 2001:26). Dua dialek
yang bertetangga yang masing-masing berbeda karena pengaruh dari bahasa atau
dialek tetangganya yang lain, namun pemakaiannya masih dapat memahami dalam
berkomunikasi, maka kedua varian itu adalah dialek yang berbeda, bukan bahasa.
Apabila sudah menjadi dua bahasa
yang berbeda, bukan bahasa. Apabila sudah menjadi dua bahasa yang
berbeda, maka pemakainya tidak dapat saling memahami. Apabila sudah menjadi
bahasa yang berbeda, maka pemakaianya tidak dapat saling memahami.