Minggu, 13 Desember 2015

Periodisasi Filologi

A.    Permulaan Tumbuhnya Filologi
Secara garis besar, dapat diberikan sebuah patokan waktu untuk masa pertumbuhan filologi itu sejah abad ke-3 SM hingga menjelang abad pertengahan, yakni sekitar abad ke-9 M. Bahkan, jika yang dijadikan patokannya semenjak suatu bangsa di kawasan tertentu mengenal aksara, dan sebagian besar dari kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah sebagai sebuah dokumen yang memberikan informasi yang banyak mengenai kehidupan pada masa lampau, tentu saja, waktu pemberangkatannya harus lebih awal daripada abad ke-3SM.

Didunia barat, masa awal kegiatan filologi berlangsung pada abad ke-3SM meskipun wilayah yang menjadi rujukan para ahli yang berada di Pantai Utara Benua Afrika, yakni kota Iskandariyah di wilayah negara Mesir yang secara geografis termasuk daerah Timur Tengah.

Bangsa Yunani mulai melakukan kegiatan studi filologi pada abad ke-3 SM. Bahan naskah yang digunakannya berupa daun papirus. Kota Iskandariyah menjadi pusat ilmu  pengetahuan. Koleksi naskahnya berupa gulungan dari bahan papirus, yang isinya menginformasikan filsafat, husada, falak, sastra, hukum, undang-undang dll.

Erasthothenes orang pertama yang memberikan istilah “ahli filologi”. Penggarapannya dilakukan di sebuah kuil (temple) dan berupah fungsi menjadi perpustakaan. Cara kerja filologinya dipandang sebagai jenis metode taraf awal, seperti perbaikan aksara dan bacaannya, ejaannya, bahasanya, tata tulisnya dan selanjutnya dilakukan penyalinan dalam kondisi yang mudah dibaca.

Studi filologi pada abad ke 3 SM yang ditandai dengan berhasilnya mereka membaca teks naskah Yunani Lama yang diperkirakan ditulis pada abad ke-8 SM dalam aksara Funisia (aksara Yunani) bahan yang digunakan berupa daun papirus.

Pada abad ke-3 SM, kota Iskandariyah telah menjadi pusat ilmu pengetahuan, karena di tempat itu sudah banyak ahli yang melakukan penelitian dan pengkajian teks-teks naskah. Koleksi naskah berupa gulungan dan bahan papirus. Isinya mencakup ilmu pengetahuan, seperti filsafat, husada, falak, sastra, hukum, undang-undang, dll.

Cara kerja filologinya memakai jenis taraf awal yaitu dengan cara memperbaiki aksara dan baaanya, ejaanya, bahasanya, tata tulisnya, dan selanjutnya dilakukan penyalinan dalam kondisi yang budah dibaca dan bersih.

Proses penyalinan teks dilakukan oleh budak belian, dampaknya terdapat penyimpangan-penyimpangan keautentikan teks. Naskah-naskah pada zaman ini juga banyak yang diperjualbelikan di sekitar Laut Tengah.

Bahan-bahan yang menjadi objek studi filologi pada masa awal pertumbuhannya, antara lain teks-teks buah pikiran dari Plato, Aristoteles, Socrates, Homerus, Manader, Herodotus, dan Hipocrates.

Pada abad ke-4 kegiatan filologi di kawasan Timur Tengah berkembang ditandai dengan munculnya perguruan tinggi sebagai pusat studi ilmu pengetahuan. Ketika abad ke-5 di kota Esessa terjadi perpecahan gerejani, banyak ahli filologi yang hijrah ke kawasan Persia.

Pada masa pemerintahan Al-Makmun (809-833), dan zaman Dinasti Abasiyah, kegiatan filologi terhadap kebudayaan Yunani Lama banyak terangkat kembali. Pada abad ke-6 atas hasil studi filologi yakni pada saat itu sastra-sastra India banyak disalin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, antara lain Pancatantra yang diberi judul Kalilah Wa Dimnah. Naskah yang paling tua di India adalah kitab sastra Weda disusun abad ke-6. Setelah itu muncul karya-karya berupa wiracarita, yaitu Mahabrata dan Ramayana. Dan pengaruh karya-karya tersebut sangat berpengaruh tersebar ke wilayah Nusantara.

B.     Filologi Abad Pertengahan
Abad pertengahan berlangsung kira-kira sekitar abad ke-10 sampai menjelang zaman Renaisans, yaitu sekitar abad ke-15. Dalam pertengahan ini, kegiatan filologi yang semula terpusat kepada naskah-naskah Yunani, tampak mengalami stagnasi, bahkan menghadapi kemunduran, lebih-lebih bahasa-bahasa daerah di Eropa tidak menarik perhatian, tetapi penyebaran agama Nasranilah yang mula-mula membangkitkan perhatian kepada bahasa-bahasa daerah di Eropa yang pada waktu itu penduduknya dianggap masih primitif.

Pada masa ini, di Eropa bagian Utara ditemukan bekas-bekas penyelidikan naskah secara filologi, yaitu pada bangsa Keltis di Irlandia dan Wales pada abad 12 dan 13 yang berbahasa nur kuno.

Pada zaman ini berkembang sistem Skolastik, yakni sebuah cara mempelajari ilmu yang diperoleh di biara-biara melalui rapat-rapat alim ulama. Bahasa Romawi pada tahun 1253 menjadi bahasa kebudayaan intelektual. Kegiatan filologi berkisar pada naskah-naskah Romawi.

Pada masa pertengahan bangsa-bangsa di Timur Tengah telah memiliki khazanah pernaskahan yang cukup bernilai sebagai karya-karya yang dihasilkan oleh bangsa Arab dan Perth, baik prosa maupun puisi pra Islam, seperti Mu’aflawat dan Qasidah. Agama Islam berkembang pada abad ke-10 sampa ke-13 makin menyemarakan dunia pernaskahan, seperti Cerita Seribu Satu Malam (Alfu Lailah wa Lailah).
Pada badab ke-8 sampai dengan abad ke-15, kekuasaan Dinasti Umayah berkembang hingga ke wilayah Spanyol dan Andalusia, sehingga kegiatan filologi pun turut mewarnai kawasan Eropa.
Sekitar tahun 1030, seorang musafir berkembangsaan Arab-Persia yang bernama Alberuni pernah mengunjungi India dan mencatat beberapa aspek kebudayaan India, seperti filsafat, sastra, tatabahasa, dan ilmu kedokteran.

C.    Filologi Zaman Renaisans dan Humanisme
Istilah renainse ada hubungannya dengan kata renaitre yang berarti ‘lahir kembali’ zaman kuno (Yunani dan Romawi) yang meliputi bidang kebudayaan, filsafat, sastra dan sebagainya. Pada zaman ini, terjadi perubahan dalam lapangan sejarah kebudayaan mengenai tanggapan hidup serta peralihan dari zaman pertengahan ke zaman baru yang tersebar di kawasan Eropa.

Dalam arti luas renainse adalah periode rakyat yang cenderung kembali kepada dunia Yunani yang biasa disebut sebagai aliran humanisme. Humanisme adalah prinsip kehidupan berdasarkan stui bahasa kuno atau klasih melalui teks-teks yang terekam di dalam naskah-naskah zaman Yunani.

            Renansans mula-mula merupakan gerakan di kalangan sarjana dan seniman, tetapi selanjutnya berkembang ke arah cara berpikir di kalangan masyarakat beradab. Humanisme sebagai suatu bagian dari renaisans yang merupakan suatu ajaran yang menolak tradisi dan skolastik dalam usaha mencari ilham. Ajaran itu dijadikan sebagai filsafat hidup. Dengan kata lain, humanisme adalah prinsip kehidupan berdasarkan studi bahasa kuno atau klasik melalui teks-teks yang terekam di dalam naskah-naskah zaman Yunani. Jadi, humanisme berusaha mempelajari bahasa dan kebudayaan klasik dengan tujuan pedagogis dan ilmiah.

            Di Eropa ilmu filologi diterapkan untuk menelaah naskah lama nonklasik, seperti naskah Germania dan Romania.

Berkat humanisme inilah perhatian kepada naskah naskah bangkit kembali. Kira-kira pada pertengahan abad ke-16, naskah Wulfia menjadi terkenal dan pada tahun 1665 diterbitkan pertama oleh Franciscus Julianus.

Selain naskah Gotis, tampil pula ke permukaan naskah-naskah berbahasa Angelsaksis (Inggris Kuno), Saksis Kuno, dan Jerman Kuno. Josephus Justus Scaliger (1540-1609) seorang sarjana yang memiliki pandangan cemerlang, yang pada mulanya Ia belajar bahasa Romawi. Pada usia 19 tahun, ia pergi ke Paris dan berkat usahanya melalui penelaaahan naskah, ia berhasil menjai ahli bahasa Yunani, Ibrani, Arab dan lainnya.

Pengaruh dari zaman Renaisans di Eropa itu berkembang ke kawasan Asia, termasuk ke Nusantara. Hasrat mengkaji naskah-naskah Nusantara mulai timbul dengan ditandai kehadiran bangsa Barat dikawasan ini pada abad ke-16, penyebarannya melalui para pedagang. Salah seorang yang dikenal bergerak dalam usaha perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Pieter Willemsz. Van elbinck yang pernah tinggal di Aceh pada tahun 1604, berhasil mengumpulkan naskah yang kemudian dijual kepada Thomas Erpenius, seorang orientalis kenamaan dari Leiden. Demikian pula Edward Picocke yang memiliki naskah Hikayat Sri Rama tertua dan William Laud menghadiahkan naskah Nusantara itu kepada Perpustakaan Bodelian Oxford.

Upaya mempelajari bahasa-bahasa Nusantara pada VOC terutama terbatas pada bahasa Melayu, karena dengan berbahasa Melayu.

D.    Filologi Abad Delapan Belas
Kegiatan filologi abad ke-17 sebagai akhir masa atau kurun abad renaisans, antara lain banyak dimanfaatkan oleh para ahli bahasa dan dilanjutkan pada abad ke-18. Didalam abad ke-18 itu, antara lain tampil seorang sarjana bernama G.W.Leibnitz yang dianggap paling ulung, yang memiliki kepandaian dalam pelbagai bidang keilmuan, misalnya dalam ilmu hukum, filsafat dan ilmu pasti, termasuk pada bidang bahasa.

            Kemudian, perkembangan yang terjadi pada abad ke-18 bagi bangsa Eropa sering disebut Age of Reason atau Age of Enlighment. Kedua istilah itu menggambarkan sifat tipis dari masa tersebut, yaitu kemenangan akal (pikir=reason) atas kepercayaan (faith) dan cara penggunaan berpikir secara rasional yang berlebih-lebihan. Dalam masa ini seluruh dunia intelektual menunjukkan reaksi terhadap pengaruh yang semakin besar dari agama Protestan, sehingga terjadilah revolusi dalam lapangan perdagangan, pelayaran dan penjelajahan daerah-daerah baru, dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.

            Kegiatan filologi pada abad ke-18 di India dipelopori oleh bangsa Inggris atas perintah Gubernur Jenderal Warren Hastings.

            Kegiatan filologi diwilayah Nusantara pada abad ke-18 masih merupakan kelanjutan dari abad sebelunya, yaitu dilakukan oleh para penginjil dari Eropa.

            Sifat khusus untuk masa ini adalah rasionalisme, yang tentu saja pengaruhnya di bidang filologi tampak dalam cara penanganan naskah-naskah yang lebih objektif.

E.     Filologi Abad Sembilan Belas
Pada dasarnya, abad ke-19 merupakan kelanjutan dari abad sebelumnya tetapi bagi bangsa Eropa selalu dianggap sebagai satu babak baru, terutama dalam lapangan linguistik sebagaimana diawali oleh Johann Gotfried Herder yang mengobarkan semangat untuk mengumpulkan serta mempelajari sebanyak-banyaknya bahasa-bahsa asing dengan kesusastraannya.

Hingga pertengahan abad ke-19, telah banyak dilakukan telaah terhadap sastra klasik India, antara lain Kitab Upansad diterjemahkan de dalam bahsa latin tahun 1802 oleh Auqueli Dupperron menjadi Oupllekliat (Macdonell dalam Suryani, 2006:52).

Adapun kegiatan filologi di Nusantara pada abad ke-19, masih dilakukan oleh para penginjil yang terhimpun sebagai Zending dan Bijbelgenootshap, yang muncul terutama setelah kedudukan VOC melemah.

Penggarapan naskah selanjutnya pada abad ke-19 telah menunjukkan perkembangan atau peningkatan berupa suntingan teks dalam bentuk transliterasi dalam aksara Latin.

Sejak permulaan abad ke-19 timbul diferensiasi (perbedaan) yang semakin besar antara filologi dan linguistik. Pada abad ke-19 ini, timbullah cara baru untuk meninjau bahasa berkat tatabahasa komparatif dan historis, dan berkat usaha mencari bentuk asli dari bentuk-bentuk yang diperoleh berdasarkan data bahasa dalam teks naskah-naskah.

F.     Filologi Abad Dua Puluh

Perkembangan filologi pada abad ke-20 ini erat hubungannya dengan aliran yang meliputi seluruh pandangan ilmu pengetahuan. Selama masa tersebut, orang tidak lagi mengutamakan pandangan analitis, tetapi lebih cenderung kepada pandangan atas dasar sintetis. Orang tidak lagi hanya mencari kenyataan (fakta), tetapi juga berusaha mencari hubungan susunan seluruh fakta itu. Orang mulai sadar bahwa suatu kesatuan yang organis lebih berharga daripada jumlah bagian-bagiannya saja. Kecenderungan itu tidak hanya terdapat dalam setiap ilmu, tetapi juga dalam.Poerbatjaraka (1926). Ada pula yang hanya diterbitakan terjemahannya saja, misalnya, sejarah Melayu oleh Leyden (1921).

Sumber
Judul Buku :           Filologi
Penulis        :           Elis Suryani NS
Penerbit      :           Ghalia Indonesia
Cetakan      :           Pertama, Januari 2012
Tebal          :           172 Halaman
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar