A. Permulaan Tumbuhnya Filologi
Secara garis besar, dapat diberikan sebuah
patokan waktu untuk masa pertumbuhan filologi itu sejah abad ke-3 SM hingga
menjelang abad pertengahan, yakni sekitar abad ke-9 M. Bahkan, jika yang
dijadikan patokannya semenjak suatu bangsa di kawasan tertentu mengenal aksara,
dan sebagian besar dari kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah sebagai
sebuah dokumen yang memberikan informasi yang banyak mengenai kehidupan pada
masa lampau, tentu saja, waktu pemberangkatannya harus lebih awal daripada abad
ke-3SM.
Didunia barat, masa awal kegiatan
filologi berlangsung pada abad ke-3SM meskipun wilayah yang menjadi rujukan
para ahli yang berada di Pantai Utara Benua Afrika, yakni kota Iskandariyah di
wilayah negara Mesir yang secara geografis termasuk daerah Timur Tengah.
Bangsa Yunani mulai melakukan kegiatan
studi filologi pada abad ke-3 SM. Bahan naskah yang digunakannya berupa daun
papirus. Kota Iskandariyah menjadi pusat ilmu
pengetahuan. Koleksi naskahnya berupa gulungan dari bahan papirus, yang
isinya menginformasikan filsafat, husada, falak, sastra, hukum, undang-undang
dll.
Erasthothenes orang pertama yang
memberikan istilah “ahli filologi”. Penggarapannya dilakukan di sebuah kuil (temple) dan berupah fungsi menjadi
perpustakaan. Cara kerja filologinya dipandang sebagai jenis metode taraf awal,
seperti perbaikan aksara dan bacaannya, ejaannya, bahasanya, tata tulisnya dan
selanjutnya dilakukan penyalinan dalam kondisi yang mudah dibaca.
Studi filologi pada abad ke 3 SM yang
ditandai dengan berhasilnya mereka membaca teks naskah Yunani Lama yang
diperkirakan ditulis pada abad ke-8 SM dalam aksara Funisia (aksara Yunani)
bahan yang digunakan berupa daun papirus.
Pada abad ke-3 SM, kota Iskandariyah
telah menjadi pusat ilmu pengetahuan, karena di tempat itu sudah banyak ahli
yang melakukan penelitian dan pengkajian teks-teks naskah. Koleksi naskah
berupa gulungan dan bahan papirus. Isinya mencakup ilmu pengetahuan, seperti
filsafat, husada, falak, sastra, hukum, undang-undang, dll.
Cara kerja filologinya memakai jenis
taraf awal yaitu dengan cara memperbaiki aksara dan baaanya, ejaanya,
bahasanya, tata tulisnya, dan selanjutnya dilakukan penyalinan dalam kondisi
yang budah dibaca dan bersih.
Proses penyalinan teks dilakukan oleh
budak belian, dampaknya terdapat penyimpangan-penyimpangan keautentikan teks.
Naskah-naskah pada zaman ini juga banyak yang diperjualbelikan di sekitar Laut
Tengah.
Bahan-bahan yang menjadi objek studi
filologi pada masa awal pertumbuhannya, antara lain teks-teks buah pikiran dari
Plato, Aristoteles, Socrates, Homerus, Manader, Herodotus, dan Hipocrates.
Pada abad ke-4 kegiatan filologi di
kawasan Timur Tengah berkembang ditandai dengan munculnya perguruan tinggi
sebagai pusat studi ilmu pengetahuan. Ketika abad ke-5 di kota Esessa terjadi
perpecahan gerejani, banyak ahli filologi yang hijrah ke kawasan Persia.
Pada masa pemerintahan Al-Makmun
(809-833), dan zaman Dinasti Abasiyah, kegiatan filologi terhadap kebudayaan
Yunani Lama banyak terangkat kembali. Pada abad ke-6 atas hasil studi filologi
yakni pada saat itu sastra-sastra India banyak disalin dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Persia, antara lain Pancatantra
yang diberi judul Kalilah Wa Dimnah. Naskah
yang paling tua di India adalah kitab sastra Weda disusun abad ke-6. Setelah itu muncul karya-karya berupa wiracarita, yaitu Mahabrata dan Ramayana.
Dan pengaruh karya-karya tersebut sangat berpengaruh tersebar ke wilayah
Nusantara.
B. Filologi Abad Pertengahan
Abad pertengahan berlangsung kira-kira
sekitar abad ke-10 sampai menjelang zaman Renaisans, yaitu sekitar abad ke-15.
Dalam pertengahan ini, kegiatan filologi yang semula terpusat kepada
naskah-naskah Yunani, tampak mengalami stagnasi, bahkan menghadapi kemunduran,
lebih-lebih bahasa-bahasa daerah di Eropa tidak menarik perhatian, tetapi
penyebaran agama Nasranilah yang mula-mula membangkitkan perhatian kepada
bahasa-bahasa daerah di Eropa yang pada waktu itu penduduknya dianggap masih
primitif.
Pada masa ini, di Eropa bagian Utara
ditemukan bekas-bekas penyelidikan naskah secara filologi, yaitu pada bangsa
Keltis di Irlandia dan Wales pada abad 12 dan 13 yang berbahasa nur kuno.
Pada zaman ini berkembang sistem
Skolastik, yakni sebuah cara mempelajari ilmu yang diperoleh di biara-biara
melalui rapat-rapat alim ulama. Bahasa Romawi pada tahun 1253 menjadi bahasa
kebudayaan intelektual. Kegiatan filologi berkisar pada naskah-naskah Romawi.
Pada masa pertengahan bangsa-bangsa di
Timur Tengah telah memiliki khazanah pernaskahan yang cukup bernilai sebagai
karya-karya yang dihasilkan oleh bangsa Arab dan Perth, baik prosa maupun puisi
pra Islam, seperti Mu’aflawat dan Qasidah. Agama Islam berkembang pada
abad ke-10 sampa ke-13 makin menyemarakan dunia pernaskahan, seperti Cerita Seribu Satu Malam (Alfu Lailah wa
Lailah).
Pada badab ke-8 sampai dengan abad
ke-15, kekuasaan Dinasti Umayah berkembang hingga ke wilayah Spanyol dan
Andalusia, sehingga kegiatan filologi pun turut mewarnai kawasan Eropa.
Sekitar tahun 1030, seorang musafir
berkembangsaan Arab-Persia yang bernama Alberuni pernah mengunjungi India dan mencatat
beberapa aspek kebudayaan India, seperti filsafat, sastra, tatabahasa, dan ilmu
kedokteran.
C. Filologi Zaman Renaisans dan Humanisme
Istilah renainse ada hubungannya dengan
kata renaitre yang berarti ‘lahir
kembali’ zaman kuno (Yunani dan Romawi) yang meliputi bidang kebudayaan,
filsafat, sastra dan sebagainya. Pada zaman ini, terjadi perubahan dalam
lapangan sejarah kebudayaan mengenai tanggapan hidup serta peralihan dari zaman
pertengahan ke zaman baru yang tersebar di kawasan Eropa.
Dalam arti luas renainse adalah periode rakyat yang cenderung kembali kepada
dunia Yunani yang biasa disebut sebagai aliran humanisme. Humanisme adalah
prinsip kehidupan berdasarkan stui bahasa kuno atau klasih melalui teks-teks
yang terekam di dalam naskah-naskah zaman Yunani.
Renansans
mula-mula merupakan gerakan di kalangan sarjana dan seniman, tetapi selanjutnya
berkembang ke arah cara berpikir di kalangan masyarakat beradab. Humanisme
sebagai suatu bagian dari renaisans yang merupakan suatu ajaran yang menolak
tradisi dan skolastik dalam usaha mencari ilham. Ajaran itu dijadikan sebagai
filsafat hidup. Dengan kata lain, humanisme adalah prinsip kehidupan
berdasarkan studi bahasa kuno atau klasik melalui teks-teks yang terekam di
dalam naskah-naskah zaman Yunani. Jadi, humanisme berusaha mempelajari bahasa
dan kebudayaan klasik dengan tujuan pedagogis dan ilmiah.
Di
Eropa ilmu filologi diterapkan untuk menelaah naskah lama nonklasik, seperti
naskah Germania dan Romania.
Berkat humanisme inilah perhatian kepada
naskah naskah bangkit kembali. Kira-kira pada pertengahan abad ke-16, naskah Wulfia menjadi terkenal dan pada tahun
1665 diterbitkan pertama oleh Franciscus Julianus.
Selain naskah Gotis, tampil pula ke
permukaan naskah-naskah berbahasa Angelsaksis (Inggris Kuno), Saksis Kuno, dan
Jerman Kuno. Josephus Justus Scaliger (1540-1609) seorang sarjana yang memiliki
pandangan cemerlang, yang pada mulanya Ia belajar bahasa Romawi. Pada usia 19
tahun, ia pergi ke Paris dan berkat usahanya melalui penelaaahan naskah, ia berhasil
menjai ahli bahasa Yunani, Ibrani, Arab dan lainnya.
Pengaruh dari zaman Renaisans di Eropa
itu berkembang ke kawasan Asia, termasuk ke Nusantara. Hasrat mengkaji
naskah-naskah Nusantara mulai timbul dengan ditandai kehadiran bangsa Barat
dikawasan ini pada abad ke-16, penyebarannya melalui para pedagang. Salah
seorang yang dikenal bergerak dalam usaha perdagangan naskah adalah Peter
Floris atau Pieter Willemsz. Van elbinck yang pernah tinggal di Aceh pada tahun
1604, berhasil mengumpulkan naskah yang kemudian dijual kepada Thomas Erpenius,
seorang orientalis kenamaan dari Leiden. Demikian pula Edward Picocke yang
memiliki naskah Hikayat Sri Rama tertua
dan William Laud menghadiahkan naskah Nusantara itu kepada Perpustakaan
Bodelian Oxford.
Upaya mempelajari bahasa-bahasa
Nusantara pada VOC terutama terbatas pada bahasa Melayu, karena dengan
berbahasa Melayu.
D. Filologi Abad Delapan Belas
Kegiatan filologi abad ke-17 sebagai
akhir masa atau kurun abad renaisans, antara lain banyak dimanfaatkan oleh para
ahli bahasa dan dilanjutkan pada abad ke-18. Didalam abad ke-18 itu, antara
lain tampil seorang sarjana bernama G.W.Leibnitz yang dianggap paling ulung,
yang memiliki kepandaian dalam pelbagai bidang keilmuan, misalnya dalam ilmu
hukum, filsafat dan ilmu pasti, termasuk pada bidang bahasa.
Kemudian,
perkembangan yang terjadi pada abad ke-18 bagi bangsa Eropa sering disebut Age
of Reason atau Age of Enlighment. Kedua istilah itu menggambarkan sifat tipis
dari masa tersebut, yaitu kemenangan akal (pikir=reason) atas kepercayaan
(faith) dan cara penggunaan berpikir secara rasional yang berlebih-lebihan.
Dalam masa ini seluruh dunia intelektual menunjukkan reaksi terhadap pengaruh
yang semakin besar dari agama Protestan, sehingga terjadilah revolusi dalam
lapangan perdagangan, pelayaran dan penjelajahan daerah-daerah baru, dan
kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Kegiatan
filologi pada abad ke-18 di India dipelopori oleh bangsa Inggris atas perintah
Gubernur Jenderal Warren Hastings.
Kegiatan
filologi diwilayah Nusantara pada abad ke-18 masih merupakan kelanjutan dari
abad sebelunya, yaitu dilakukan oleh para penginjil dari Eropa.
Sifat
khusus untuk masa ini adalah rasionalisme,
yang tentu saja pengaruhnya di bidang filologi tampak dalam cara penanganan naskah-naskah
yang lebih objektif.
E. Filologi Abad Sembilan Belas
Pada dasarnya, abad ke-19 merupakan
kelanjutan dari abad sebelumnya tetapi bagi bangsa Eropa selalu dianggap
sebagai satu babak baru, terutama dalam lapangan linguistik sebagaimana diawali
oleh Johann Gotfried Herder yang mengobarkan semangat untuk mengumpulkan serta
mempelajari sebanyak-banyaknya bahasa-bahsa asing dengan kesusastraannya.
Hingga pertengahan abad ke-19, telah
banyak dilakukan telaah terhadap sastra klasik India, antara lain Kitab Upansad
diterjemahkan de dalam bahsa latin tahun 1802 oleh Auqueli Dupperron menjadi
Oupllekliat (Macdonell dalam Suryani, 2006:52).
Adapun kegiatan filologi di Nusantara
pada abad ke-19, masih dilakukan oleh para penginjil yang terhimpun sebagai
Zending dan Bijbelgenootshap, yang muncul terutama setelah kedudukan VOC
melemah.
Penggarapan naskah selanjutnya pada abad
ke-19 telah menunjukkan perkembangan atau peningkatan berupa suntingan teks
dalam bentuk transliterasi dalam aksara Latin.
Sejak permulaan abad ke-19 timbul
diferensiasi (perbedaan) yang semakin besar antara filologi dan linguistik.
Pada abad ke-19 ini, timbullah cara baru untuk meninjau bahasa berkat
tatabahasa komparatif dan historis, dan berkat usaha mencari bentuk asli dari
bentuk-bentuk yang diperoleh berdasarkan data bahasa dalam teks naskah-naskah.
F. Filologi Abad Dua Puluh
Perkembangan filologi pada abad ke-20 ini
erat hubungannya dengan aliran yang meliputi seluruh pandangan ilmu
pengetahuan. Selama masa tersebut, orang tidak lagi mengutamakan pandangan
analitis, tetapi lebih cenderung kepada pandangan atas dasar sintetis. Orang
tidak lagi hanya mencari kenyataan (fakta), tetapi juga berusaha mencari hubungan
susunan seluruh fakta itu. Orang mulai sadar bahwa suatu kesatuan yang organis
lebih berharga daripada jumlah bagian-bagiannya saja. Kecenderungan itu tidak
hanya terdapat dalam setiap ilmu, tetapi juga dalam.Poerbatjaraka (1926). Ada
pula yang hanya diterbitakan terjemahannya saja, misalnya, sejarah Melayu oleh
Leyden (1921).
Sumber
Judul Buku : Filologi
Penulis : Elis Suryani NS
Penerbit : Ghalia Indonesia
Cetakan : Pertama, Januari 2012
Tebal : 172 Halaman