Kelenteng
merupakan tempat peribadatan masyarakat Tionghoa pada tahun 1930-an. Mengapa
disebut kelenteng??? Pada saat itu, masyarakat Tionghoa yang akan melakukan
ritual selalu ditandai dengan bunyi “teng teng teng” yang berasal dari jam
dinding yang besar. Dari situlah kata kelenteng berasal. Namun, tahun 1965-an
kata kelenteng digantikan dengan Vihara. Sebelumnya, Indonesia memiliki enam
agama yang diakui yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha
dan Konfusius. Namun, pada pemerintahan Orde Baru agama Konfusius dihapuskan
sebab dianggap sebagai kepercayaan bukan sebagai agama. Nah, sejak itulah nama
kelenteng diganti menjadi “Vihara” karena bukan dianggap lagi sebagai tempat
ibadah. Akan tetapi, saat ini, vihara tetap dipertahankan oleh orang Tionghoa
sebagai tempat peribatan dan juga sebagai tempat ritual yang sering dilakukan
di hari-hari besar berdasarkan kalender Gregorian Tionghoa. Masyarakat Tionghoa
memiliki empat kepercayaan yaitu Tao, Konfusius, Buddhis, dan Khonghucu. Dengan
demikian, Bandung memiliki kelenteng peninggalan masyarakat Tionghoa yang
menganut kepercayaan Konfusius.
Vihara Samudra
Bhakti merupakan komuniti senter bagi masyarakat Tionghoa. Tempat tersebut
sering digunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan masyarakat Tionghoa.
Bahkan, vihara tersebut juga pernah digunakan sebagai tempat menuntut ilmu
sebab sering dijadikan sekolah. Bentuk arsitektur Vihara Samudra Bakti
berbentuk segiempat yang merupakan miniatur dari falsafah Tionghoa. Vihara
tersebut terdapat tiga ruang bagian kanan, tengah dan kiri. Namun, ruang kanan
dan kiri sudah dilakukan renovasi sementara ruang tengah bentuk yang tidak
boleh diubah oleh pemerintahan daerah sesuai dengan Peraturan Daerah No. 19
tahun 2009.
Vihara Samudra
Bhakti terdapat tabung pertanyaan. Tabung tersebut berada di ruang tengah yang
terdapat dua buah yaitu untuk menampung pertanyaan dan pengobatan. Tabung untuk
menampung pertanyaan berupa pertanyaan seputar kehidupan masyarakat Tionghoa.
Sementara itu, tabung untuk pengobatan berupa pertanyaan pengobatan yang
sifatnya penguatan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab melalui syair
atau dongeng bukan secara nyata.
Vihara Samudra
Bhakti merupakan kelenteng besar yang berada di Jalan Kelenteng No. 5 Bandung.
Sementara di dekat kelenteng besar terdapat kelenteng kecil yang terdapat di
daerah Jalan Cibadak yang terdapat empat kelenteng kecil yaitu Vihara Buddhi,
Kelenteng Pribadi, Vihara Dharmaramsi, dan Vihara Sinar Mulia. Vihara Buddhi
merupakan kelenteng masyarakat Tionghoa khusus wanita, sedangkan kelenteng
pribadi dimiliki oleh salah satu orang Tionghoa tapi boleh digunakan untuk
umum. Vihara Dharmaramsi merupakan kelenteng yang digunakan untuk melakukan budaya
tahunan seperti Imlek (Hari raya yang menandakan hari pertama musim semi bagi
masyarakat Tionghoa). Selain itu, Vihara Dharmaramsi dijadikan tempat
masyarakat Tionghoa untuk membuat kerajinan tangan di hari-hari tertentu
seperti upacara ritual.
Masyarakat
Tionghoa memiliki Nabi yang bernama Kong Chu yang lahir pada 551 SM. Dalam
kelenteng yang dikunjungi di Bandung terdapat banyak patung. Tujuannya patung
tersebut untuk dikenang, diketahui keistimewanya bukan disembah. Selain itu,
terdapat buah-buahan disekitar patung di dalam kelenteng tersebut salah satu
budaya yang dimiliki masyarakat Tionghoa yang tujuannya untuk mrnghormati
leluhur sama halnya seperti manusia yang memiliki toleransi yang tinggi.
Batu nisan
peninggalan orang Tionghoa kebanyakan etnis Fu Chi Eun dan Khu Ang Tun yang
berasal dari Tionghoa Selatan yang keluar dari kawasannya sebab ketika itu
terjadi bencana alam dan terjadi politik kekuasaan. Maka mereka pergi dari
kawasannya untuk mempertahankan diri dari serangan tersebut. Kawasan Tionghoa
Selatan merupakan satu provinsi yang memiliki dialek yang berbeda-beda.
Masyarakat
Tionghoa memiliki sebuah kebudayaan memasangkan cermin warna merah di depan
pintu yang dipercaya dalam falsafah Fung Shu oleh orang Tionghoa sebagai
simbolik untuk daya alam yaitu misalnya untuk menangkal terjadinya kemalingan.
Jika, pencuri itu melihat ke cermin tersebut maling tersebut akan ketakutan
melihat dirinya sendiri sebab maling itu mukanya akan berubah menjadi
menyeramkan.
Bidang
perniagaan, sebagian besar masyarakat Tionghoa melakukan bisnis. Dalam
melakukan bisnis masyarakat memiliki pekerjaan yang sama yaitu berdagang produk
yang sejenis berdasarkan etnis masing-masing sehingga setiap etnis menjual
produk yang berbeda-beda. Perdagangan yang dilakukan oleh orang Tionghoa di
Bandung terletak di daerah Jalan Waringin bekas pecinan perniagaan masyarakat
Tionghoa tapi sudah ditinggalkan oleh para penghuninya. Bentuk bangunan untuk
melakukan perniagaan memiliki berbagai bentuk yang disesuaikan dengan strata sosial
masyarakat Tionghoa.
Menurut Sugiri
Kustedja, saran untuk pemerintah daerah yaitu sebaiknya pelestarian budaya
harus tetap dipertahankan oleh masyarakat sebab jika dilihat sejarahnya bahwa
masyarakat Tionghoa memiliki peran besar dalam kehidupan sosial di Bandung.
Meskipun, niat walikota bagus untuk memajukan kehidupan sosial masyarakat
bandung.
Kritik
Dalam acara Jejak Wisata Kawasan
Perniagaan Pecinan di Bandung ini merupakan kegiatan bersifat positif untuk
mengetahui letak-letak peninggalan masyarakat Tionghoa baik tempat tinggalnya,
tempat ibadahnya muapun tempat masyarakat Tionghoa mencari nafkah untuk
mempertahankan hidup. Namun, acara yang dilaksanakan pada Minggu, 30 Agustus
2015 ini dijelaskan bukan oleh ahli sejarah melainkan arsitek yang bernama
Sugiri Kustedja. Dalam hal ini, menunjukkan bahwa sumber-sumber yang kami
kunjungi belum dapat dipercaya sepenuhnya. Selain itu, dalam menyampaikan
informasi pemateri tidak merujuk pada sebuah buku melainkan menggunakan
pengalaman pribadi pemateri yang mendapat informasi melalui wawancara dengan
keturunan Tionghoa.
Latar Belakang Acara Jejak Wisata Kawasan Perniagaan Pecinan di Bandung
Latar Belakang Acara Jejak Wisata Kawasan Perniagaan Pecinan di Bandung
Kota Bandung
merupakan kota urban yang memiliki berbagai macam jenis masyarakat. Dalam
Peraturan Daerah No. 19 tahun 2009 mengesahkan bahwa kelenteng Vidhara Samudra
Bhakti merupakan cagar budaya yang termasuk dalam kelas A memiliki makna yang
sangat penting dalam sejarah kota Bandung.
Kata Pecinan di
Bandung sebenarnya tidak ada sebab masyarakat Tionghoa tidak memiliki pemukiman
yang berdekatan tapi pada kenyataannya berjauhan. Namun, memang benar kalau
masyarakat Tionghoa memiliki kawasan perniagaan pecinan di Bandung.
Manfaat Acara Jejak Wisata
Kota Bandung
merupakan kota urban yang dibentuk dari koloborasi antara orang Sunda, Belanda,
sebagian orang India, Arab dan Tionghoa sehingga memberikan pemahaman
masyarakat urban yang pluralisme. Selain itu, pertemuan yang diadakan tersebut
memperluas adanya lalu lintas transportasi kemudian mengakibatkan kerusakan lingkungan
sehingga masyarakat Bandung harus diberikan pemahaman adanya keberagaman etnis
di Bandung sebab dengan begitu Bandung akan memiliki kekuatan yang besar untuk
menghadapi maslah perekonomian dunia.
Bandung menjadi
kota internasional sebab pada sejarahnya Bandung pernah diperkenalkan kepada
dunia melalui Konferensi teh pada Hindia Belanda dan Konferensi Asia Afrika.
Dalam hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah mempertahankan kerjasama
antara pemerintahan, masyarakat, dan komunitas bersatu berkumpul untuk melihat
wajah kota Bandung yang diusulkan pemerintahan kota yang ada dalam Peraturan
Daerah No. 19 tahun 2009.
Harapan
1.
Kesadaran
masyarakat mengenai kota Bandung akan lebih tinggi. Selain itu, masyarakat juga
mengetahui perkembangan dan perubahan apa saja yang terjadi di Bandung sebab
kota merupakan kampung dunia. Jadi, masyarakat Bandung bisa sadar bahwa kota
ini merupakan kota Internasional.
Tujuan
1.
Suatu
komunitas bernama Bandung Heritage bekerjasama dengan Yayasan Dana Sosial
Priangan salah satunya anggotanya Bapak Sugiri yang mengusulkan bahwaarsitektur
Vihara Samudra Bhakti merupakan Kelenteng Kelas A berdasarkan UU no. 19 tahun
2009 Peraturan Daerah yang dijadikan Cagar Budaya Bandung.
2.
Pada
masa Hindia Belanda kelenteng dirancang oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk
tempat beribadah masyarakat Tionghoa. Dalam pembangunan kelenteng, orang
Tionghoa berperan penting dalam pembuatan kelenteng tersebut dengan bentuk yang
disesuaikan dengan budaya masyarakat Tionghoa. Selain itu, acara ini disepakati
oleh Graha Surya Priangan untuk menunjukkan kepada orang Bandung sejarah
Bandung. secara umum, masyarakat Bandung hanya mengetahui bahwa sejarah kota
Bandung hanya ada unsur orang Belanda, Sunda, India, Arab. Akan tetapi,
sesungguhnya orang Tionghoa juga memiliki peran besar dalam sejarah Bandung.
3.
Pelaksanaan
ini juga bertujuan untuk menunjukkan Cagar Budaya Tionghoa. Maka Heritage
membuat program update budaya pecinan perniagaan. Kenapa? Karena pada zaman
Hindia Belanda tidak diatur pecinan namun bangunan tersebut terjadi karena
berjalannya waktu.
4.
Pada
tahun 1870-an Bandung sudah tidak dibatasi lagi orang luar bisa masuk ke
Bandung dengan mudahnya. Pada perang Dipenogoro tahun 1830 masyarakat Bandung
hanya 190 juta. Namun, setelah tidak dibatasi bertambah semakin banyak orang
Tionghoa datang ke Bandung.
5.
Dalam
sumpah pemuda wilayah Hindia Belanda mempunyai tiga prinsip. Hal itu diketahui
oleh orang Tionghoa melalui pendidikan sehingga mengetahui bahasa Indonesia.
Ketika itu, orang Tionghoa hanya mengetahui kerajaan. Namun dengan adanya
pendidikan orang Tionghoa mengetahui adanya gabungan dari kerajaan akhirnya
Tionghoa kabur dari dataran Tionghoa dan sadar bersatu melawan penjajah. Namun,
pada pemerintahan orde Baru, ketika kejadian G30S/PKI Indonesia melarang
masyarakat Tionghoa untuk melakukan upacara ritual, bahasa mandarin sebagai
bahasa resmi Tionghoa. Akhirnya, berdampak kepada keturunan Tionghoa yang tidak
mengetahui bahasa Mandarin.