Jumat, 18 Desember 2015

Teori Hegemoni Antonio Gramsci


Apa gambaran luas tentang teori hegemoni Antonio Gramsci?



Seperti juga teori-teori kritis pada era poststructuralism, teori hegemoni pun dibangun berdasarkan teori kekuasaan yang dikembangkan Karl Marx (1818-1883). Teori ini dirintis dan dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang disebut-sebut sebagai penerus Marxisme atau Neo-Marxisme. Teori ini sangat berperan dalam pembacaan teks budaya popular secara kualitatif, khususnya terkait pembongkaran teks dan produksi teks media menu menurut metodologi semiotika sosial atau analisis wacana kritis.

“Hegemoni adalah proses dominasi, di mana sebuah ide menumbangkan atau membawahi ide lainnya—sebuah proses di mana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. Hegemoni dapat terjadi dalam berbagai cara dan berbagai keadaan; intinya, hal ini terjadi ketika peristiwa atau teks diartikan dengan sebuah cara yang mengangkat ketertarikan dari satu kelompok terhadap yang lainnya. Hal ini dapat menjadi proses cerdik dalam memaksakan untuk memilih minat dari sebuah kelompok bawah menjadi kelompok yang mendukung semua ideologi dominan,” jelas Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss.

Inti batasan yang dikemukan Littlejohn dan Foss adalah dominasi kelompok dominan (baca: minoritas) atas kelompok lain (baca: mayoritas atau khalayak) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut. Batasan itu menguraikan keberadaan dua kelompok di tengah masyarakat, dengan kelompok minoritas yang berperan “menyuntikkan” ideologinya, sedangkan kelompok mayoritas atau khalayak menjadi pengikut atau sasaran penerimaan ideologi itu. Ideologi?

Pemaparan Eriyanto soal hegemoni di bawah ini bisa memperjelas batasan yang telah disampaikan di atas.

Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” (secara suka rela) dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral, dan politik. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan.

Cara penguasaan atau dominasi itu digambarkan Eriyanto melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar hingga ditafsirkan sebagai kenyataan. Karl Marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu atau representasi palsu. Selain itu, uraian itu juga menjabarkan sekilas perbedaan dimensi ekonomi dan produksi (yang dikemukakan Karl Marx) dibandingkan hegemoni ala Gramsci. Bahwa hegemoni menekankan pada perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” melalui kepemimpinan intelektual, moral, dan politik. Tujuannya, memengaruhi dan membentuk alam pikiran khalayak atau kelompok yang dipengaruhi. Sebaliknya dengan dimensi material dari segi ekonomi dan relasi produksi, yang menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikutinya.

Hingga di sini, batasan-batasan itu belum menjelaskan rupa hegemoni. Dua batasan itu masih berputar di wilayah hubungan kelompok berkuasa dan tidak berkuasa, serta harapan-harapan yang ingin dicapai. Menurut Douglas Kellner, “… teori Antonio Gramsci mengenai hegemoni, yang menampilkan kebudayaan, masyarakat, dan politik sebagai medan-medan perebutan di antara berbagai kelompok dan blok kelas.”

Kini semakin jelas bahwa kebudayaan, masyarakat, dan politik, yang menjadi medan perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” bagi kelompok minoritas itu. Namun, hal itu belum menjelaskan tujuan spesifik dan alat atau sarana untuk mendapatkan kepatuhan aktif dan secara suka rela itu.

“Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sedangkan wacana lain dianggap salah,” jelas Eriyanto. “Media secara tidak sengaja menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai atau wacana dominan yang dianggap benar hingga meresap dalam benak khalayak dan dianggap kebenaran. Sebaliknya, wacana lain diangap salah.”

Dua kutipan di atas menegaskan tujuan kekuatan hegemoni, yakni menciptakan cara berpikir yang berasal dari wacana dominan, juga media yang berperan dalam penyebaran wacana dominan itu. Di tingkat makro, Gramsci memetakan pertarungan ideologi-ideologi yang bertemu dan saling berkompetisi, sekaligus memperlihatkan rupa penggagasnya.

Bagi Gramci, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pendapat di atas makin memperjelas keberadaan wacana dominan sebagai kata kunci dari ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik, juga peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. Lebih jauh lagi, Alex Sobur melihat berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pada akhirnya, pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan. “Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, begitu adanya, logis, dan bernalar (common sense), serta semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan,” jelas Eriyanto.


Kesimpulannya, poin-poin teori hegemoni meliputi:
1) dominasi kelompok dominan (minoritas) atas kelompok lain (mayoritas) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut.

2) melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar hingga ditafsirkan sebagai kenyataan.

3) kebudayaan, masyarakat, dan politik, yang menjadi medan perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” bagi kelompok minoritas ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik.

4) peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas.

5) berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

6) pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar