oleh:Saptono
Teori hegemoni merupakan sebuah
teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci
(1891-1937). Antonio Gramci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting
setelah Marx. Gagasanya yang cemerlang tentang hegemoni, yang banyak
dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma
alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure
(basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi
pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme
kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Teori hegemoni sebenarnya
bukanlah hal yang baru bagi tradisi Marxis. Menurut Femia pengertian semacam
itu sudah dikenal oleh orang Marxis lain sebelum Gramci, seperti; Karl Marx,
Sigmund Freud, Sigmund Simmel. Yang membedakan teori hegemoni Gramci dengan
penggunaan istilah serupa itu sebelumnya adalah;
Pertama, ia menerapkan konsep itu
lebih luas bagi supremasi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap
hubungan sosial, sedangkan pemekaian istilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada
relasi antara proletariat dan kelompok lainnya.
Kedua, Gramci juga mengkarakterisasikan
hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik
dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu
(Femia, 1983).
Teori hegemoni dari Gramci yang
sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramci ketika dipenjara yang akhirnya
dibukukan dengan judul “Selection from The Prissons Notebook” yang banyak
dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan.
Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang
dikenal dengan nama “New Gramcian”.
Teori hegemoni dibangun di atas
preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol
sosial politik. Menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang
dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai
serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas
subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramci dengan “hegemoni” atau menguasai
dengan “kepemimpinan moraldan intelektual” secara konsensual.
Dalam kontek ini, Gramci secara
berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok
atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supermasi lain yang ia
namakan “dominasi” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik (Sugiono,
1999:31).
Melalui konsep hegemoni, Gramsci
beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling
tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan
tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan
membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa lawenforcemant. Perangkat kerja yang
pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata negara (state) melalui
lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara.
Kedua, adalah perangkat kerja
yang mampu membujuk masyarakat beserta pranatapranata untuk taat pada mereka
yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga
keluarga (Heryanto, 1997). Perangkat karja ini biasanya dilakukan oleh pranata
masyarakat sipil (civil society) melailui lembaga-lembaga masyarakat seperti
LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan kelompok-kelompok
kepentingan (interest groups). Kedua level ini pada satu sisi berkaitan dengan
fungsi hegemoni dimana kelompok dominan menangani keseluruhan masyarakat dan
disisi lain berkaitan dengan dominasi langsung atau perintah yang dilaksanakan
diseluruh negara dan pemerintahan yuridis (Gramsci, 1971).
Pembedaan yang dibuat Gramsci
antara “masyarakat sipil” dan “masyarakat politik”, sesungguhnya tidak jelas
terlihat, pembedaan itu dibuat hanya untuk kepentingan analisis semata. Kedua
suprastruktur itu, pada kenyataannya, sangat diperlukan, satu sama lainnya
tidak bisa dipisahkan.
Bahwa kedua level itu sangat diperlukan
bisa dilihat dengan gamblang dalam konsepsi Gramsci tentang negara yang lebih
luas, dimana ia tunjuk sebagai “negara integral” meliputi tidak hanya
masyarakat sipil tetapi juga msyarakat politik yang didefinisikan negara =
masyarakat politik + masyarakat sipil, dengan kata lainhegemoni dilindungi oleh
baju besi koersi (Gramsci,1971).
Gramsci juga mengkarakterisasikan
apa yang dimaksud dengan negara integral sebagai sebuah kombinasi kompleks
antara “kediktatoran dan hegemoni” atau seluruh kompleks aktivitas praktis dan
teoritis dimana kelas berkuasa tidak hanya menjustifikasi dan menjaga dominannya,
tetapi juga berupaya memenangkan persetujuan aktif dari mereka yang dikuasai”.
Jadi negara adalah aparatus koersif pemerintah sekaligus aparatus hegemonik
institusi swadta. Definisi ini memungkinkan Gramsci untuk menghidarkan diri
dari pandangan instrumentalis tentang negara memandang negara sebagai sistem politik
pemerintah belaka dalam teori politik liberal atau teori lainnya seperti
institusi koersif kelas berkuasa dalam teori politik Marxis klasik.
Kelebihan konsepsi Gramsci tentang
negara integral adalah karena konsepsi itu memungkinkan dirinya memandang hegemoni
dalam batasan dialektik yang meliputi masyarakat sipil atau masyarakat politik(Sugiono,
1999).
Lebih jauh dikatakan Gramsci
bahwa bila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuasaan memaksa, hasil
nyata yang berhasil dicapai dinamakan “dominasi”. Stabilitas dan keamanan
memang tercapai, sementara gejolak perlawanan tidak terlihat karena rakyat
memang tidak berdaya. Namun hal ini tidak dapat berlangsung secara terus
menerus, sehingga para penguasa yang benar-benar sangat ingin melestarikan
kekuasaannya dengan menyadari keadaan ini akan melengkapi dominasi (bahkan
secara perlahan-lahan kalau perlu menggantikannya) dengan perangkat kerja yang
kedua, yang hasil akhirnya lebih dikenal dengan sebutan “hegemoni”.
Dengan demikian supermasi
kelompok (penguasa) atau kelas sosial tampil dalam dua cara yaitu dominasi atau
penindasan dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tipe kepemimpinan yang
terakhir inilah yang merupakan hegemoni (Hendarto, 1993:74). Dengan demikian kekuasaan
hegemoni lebih merupakan kekuasaan melalui “persetujuan” (konsensus), yang
mencakup beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosional atas taanan
sosial politik yang ada.
Hegemoni adalah sebuah rantai
kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus (consenso) dari pada
melalui penindasan terhadap kelas sosial lain. Ada berbagai cara yang dipakai,
misalnya melalui yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau
tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat itu. Itulah sebabnya
hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan
memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Gramsci,1976:244).
Dalam konteks tersebut, Gramsci lebih
menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui produk-produknya, hegemoni
menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar baik secara
moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasi
antar negara tetapi dapat juga terjadi dalam hubungan antar berbagai kelas
sosial yang ada dalam suatu negara.
Ada tiga tingkatan yang
dikemukakan oleh Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang
merosot (decadent) dan hegemino yang minimum (Femia, 1981). Dalam konteks ini
dapat dirumuskan bahwa konsep hegemoni merujuk pada pengertian tentang situasi
sosial politik. Dalam terminologinya “momen” filsafat dan praktek sosial
masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang, dominasi merupakan lembaga dan
manifestasi perorangan. Pengaruh “roh” ini membentuk moralitas, adat, religi,
prinsip-prinsip politik, dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual dan
halhal yang menunjuk pada moral.
Konsep hegemoni terkait dengan
tiga bidang, yaitu ekonomi (economic), negara (state), dan rakyat (civil
society) (Bocock, 1986). Ruang ekonomi menjadi fundamental.
Namun, dunia politik yang menjadi
arena dari hegemoni, juga menampilkan momen perkembangan tertinggi dari sejarah
sebuah kelas. Dalam hal ini, pencapaian kekuasaan negara, konsekwensi yang
dibawanya bagi kemungkinan perluasan dan pengembangan penuh dari hegemoni itu
telah muncul secara parsial, memiliki sebuah signifikasi yang khusus. Negara
dengan segala aspeknya, yang diperluas mencakup wilayah hegemoni, memberikan
kepada kelas yang mendirikannya baik prestise maupun tampilan kesatuan sejarah
kelas penguasa dalam bentuk konkret, yang dihasilkan dari hubungan organik antara
negara atau masyarakat politik dan civil society.
Pendek kata, hegemoni satu
kelompok atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramscian bukanlah
sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni itu harus diraih melalui upaya-upaya politis,
kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh
masyarakat. Teori politik Gramsci penjelasan bagaimana ide-ide atau ideologi
menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada kelompok penguasa
legitimasi untuk berkuasa (Sugiono, 1999).